Friday, January 29, 2010

Maria Ulfah Anshor( Ketua Umum PP Fatayat NU 2005-2009 )





“Pemecah Kebekuan Berfikir”

“……….Jika kita bicara nas atau teks-teks al-Quran, maka kita akan melihat bahwa teks-teks tersebut mengangkat martabat perempuan, tetapi bagaimana dengan implementasinya? Hal inilah yang ingin kita angkat untuk menyeimbangkan antara teks dengan realitas, supaya tidak timpang……….”

Persentuhan Awal dengan Fatayat

Persentuhan awal saya dengan Fatayat pada 1989, ketika saya bekerja di Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (LAKPESDAM NU). Saat itu, Fatayat dan Muslimat sering berkonsultasi program dengan lembaga ini. Karena saya di LAKPESDAM saat itu perempuan sendiri, saya selalu diminta untuk mendampingi mereka. Ketika itu, salah satu fungsi LAKPESDAM adalah memberikan bantuan teknis (tehnichal assistensi) terhadap badan otonom NU yang membutuhkan. Bahkan ketika itu sempat terbentuk Panitia Tetap Koordinasi Badan Otonom perempuan NU yang diprakarsai oleh Bapak Dr. Fahmi D. Saifuddin Zuhri, MPh. diketuai oleh Sahabat Mahsusoh Tosari dan saya sebagai sekretararis.



Pada tahun 1990, periode terpilihnya Sri Mulyati Asrori sebagai ketua umum PP Fatayat NU yang pertama, saya diminta untuk menjadi salah seorang pengurus di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Fatayat (Litbang). Pada pertengahan jalan, ada salah seorang pengurus yang mengundurkan diri dan saya menggantikan dia menjadi Wakil Sekretaris. Pada tahun 1993-1994, saya diminta menjadi pimpinan proyek untuk Program Kelangsungan Hidup dan Perlindungan Ibu dan Anak (KHPIA) di Fatayat NU namanya Bina Balita, bekerja sama antara Fatayat NU, UNICEF dan Departemen Agama RI. Pada tahun 1994-1995, saya mengelola program Pengembangan Kesehatan Masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Daerah Istimewa Aceh, bekerjasam dengan AIDAB yang kini namanya menjadi AusAID di bawah Kedutaan Besar Australia.

Pada periode kepengurusan 1995-2000, sahabat Sri Mulyati Asrori terpilih kembali sebagai ketua umum, ketika itu saya sebagai Ketua IV. Periode ini adalah masa kritis kepengurusan Fatayat NU, karena di satu sisi ketua umum sama sekali tidak aktif, mungkin hanya sekitar 6 bulan pertama beliau bisa intensif, selebihnya beliau berada di Canada melanjutkan S3-nya, hingga kongres yang lalu pun di Bandung beliau tidak bisa hadir. Meskipun kita akui di saat beliau pulang sesekali datang ke kantor Fatayat NU dan pernah membantu menegosiasikan program pelatihan sensitivitas gender untuk Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Jawa Barat dan PW Fatayat NU Yogyakarta bekerjasama dengan Kedutaan Besar Canada. Namun ketika itu sahabat Sri Mulyati belum sempat melakukan konsolidasi yang tuntas di antara jajaran ketua yang ada maupun pengurus lainnya. Usulan beliau ketika itu adalah melakukan kepemimpinan secara periodik di antara empat ketua yang ada yaitu ketua I, ketua II, ketua III dan ketua IV tetapi ditolak oleh sebagian besar pengurus, mereka meminta serah terima kepemimpinan otomatis kepada ketua I karena ketua umum dianggap berhalangan.

Kondisi tersebut berdampak pada kinerja pengurus selama periode ini menjadi sangat tidak kondusif, di antara ketua yang ada masing-masing jalan sendiri-sendiri. Pada akhirnya ketua I sahabat Ermalena berbesar hati melanjutkan kepengurusan tersebut hingga kongres dan sukses. Dalam arti berhasil mengantarkan kongres dengan pertanggungjawaban Pucuk Pimpinan Fatayat NU (PPF) diterima oleh seluruh peserta kongres meskipun tanpa dihadiri oleh ketua umum. Dalam hal ini, beliau menanggung beban moral paling berat, dengan posisi sebagai ketua I tetapi harus menerima beban dan tanggung jawab sebagaimana ketua umum. Padahal kalau mau hitung-hitungan, dalam pemilihan waktu Kongres beliau memperoleh suara yang signifikan hanya selisih 1 atau 2 suara dengan sahabat Sri Mulyati dari seluruh suara pemilih. Inilah pengalaman pahit dari bentuk ketidakadilan struktural yang ada dalam sejarah Fatayat NU. Mudah-mudahan tidak terulang hingga kapanpun.

Di sisi lain, sejak bantuan proyek KHPIA terhenti dari UNICEF pada tahun 1993, Fatayat NU nampaknya tergantung sekali pada bantuan dana asing, karena sejak itu program di Pucuk Pimpinan nyaris tidak bisa jalan hanya dengan mengandalkan sumbangan lokal dan temporer, apalagi iuran anggota. Fatayat NU mengalami kesulitan dana yang luar biasa, sehingga untuk menggaji pegawai sekretariat pun pengurus harus patungan. Kondisi ketergantungan tersebut bila kita analisa bisa juga karena faktor ketidakaktifan ketua umumnya, karena setengah dari periode kepengurusan sahabat Sri Mulyati yang pertama (1990-1995) beliau juga mengambil studi S2 di Canada. Namun hal tersebut mungkin juga karena fenomena global maraknya donor asing yang mendanai program-program sosial di Indonesia ketika itu. Fatayat NU termasuk salah satu lembaga yang menikmati dininabobokan dengan bantuan tersebut sejak tahun 1986 untuk proyek Kelangsungan Hidup Anak (PKHA) atau KHPIA.

Pelan-pelan kemudian bangkit lagi setelah ada bantuan program Social Marketing Vitamin A (SOMAVITA) kerjasama antar Fatayat NU dengan AED (Academic Education Development) dan Helen Keller International (HKI). Disusul pada tahun berikutnya kerja sama dengan AIDAB yang keduanya merupakan donor asing dari Amerika dan Australia.

Wacana Kesetaraan Gender

Persentuhan Fatayat NU dengan wacana gender terjadi pada tahun 1997-2000. Saat itu Fatayat NU mengangkat program “Penguatan Hak-hak Perempuan” bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) untuk beberapa training sensivitas gender, analisis gender dan penyiapan tenaga pengelola Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2). Pada tahun 1998, Fatayat NU mengembangkan hak-hak perempuan termasuk di dalamnya hak-hak reproduksi. Untuk program “Penguatan Hak-hak Kesehatan Reproduksi Perempuan” bekerja sama dengan Ford Foundation. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang cukup serius dalam intern pengurus, khususnya di tingkat harian. Saat itu muncul pernyataan yang menyindir dari kalangan teman-teman “Kok rajin amat, sementara yang memperoleh nama kan ’ketua umum”. Pada waktu itu ketua umum sahabat Sri Mulyati memang tidak aktif sebagaimana telah saya ceritakan di atas. Saya sendiri tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya sebatas memanfaatkan peluang dan potensi yang bisa saya lakukan untuk tanggung jawa saya sebagai ketua IV waktu itu.

Begitu juga ketika saya menggagas program perspektif gender di Fatayat NU bukan tanpa tantangan, sebagian besar di jajaran pengurus harian terutama ketua yang lain mengambil posisi konfrontatif. Salah seorang yang menerima gagasan ini adalah sahabat Musdah Mulia, saya kemudian mendiskusi proposal yang saya buat dengan beliau sebagai ketua II. Ternyata proposal tersebut disetujui oleh TAF. Dalam pelaksanaan proyek tersebut beliau mau membantu terlibat dalam lokakarya, training dan lain sebagainya. Dengan posisi saya sebagai Pimpinan Proyek Penguatan hak-hak perempuan yang kemudian melahirkan LKP2 sebanyak 26 unit pada 26 Kabupaten, membuat saya banyak berhubungan dengan cabang dan wilayah. Karena wilayah dan cabang mengenal saya, maka sangat wajar kalau kemudian saya memiliki peluang yang besar pada Kongres. Proses tersebut sangat alamiah, hingga mengantarkan saya masuk dalam bursa calon dan terpilih menduduki posisi ketua umum untuk periode 2000-2005 sebagaimana sekarang ini.

Perlu pula saya kemukakan di sini bahwa cukup berat waktu itu untuk sosialisasi kesetaraan gender, karena mengalami perbenturan yang tajam, wacana ini dianggap baru dan kebarat-baratan. Perbenturan ini terbawa hingga kongres, sebagian dari mereka menolak saya menjadi Ketua Umum PP Fatayat NU. Alasan mereka, jika saya memimpin Fatayat NU dengan membawa visi kesetaraan gender, maka kemungkinan akan melunturkan nilai-nilai NU. Ketika saya benar-benar terpilih, orang yang menolak wacana gender pun memilih tidak aktif selama kepengurusan periode saya, namun dia tidak dapat mengundurkan diri dan kami pun tidak dapat menggantinya karena dia dipilih oleh Kongres.

Saat saya terpilih sebagai Ketua Umum PP Fatayat NU pada Kongres yang berlangsung di Hotel Savoi Homan Bandung, tahun 2000, obsesi utama saya adalah bagaimana melakukan gender mainstreaming di Fatayat NU. Sebelum kongres berlangsung, yakni tahun 1999, Fatayat NU sudah mencoba merumuskan visi dan misi organisasi yang tertulis dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT). Visi Fatayat NU sebagaimana yang terlihat pada program-program Fatayat NU 2000-2005 adalah “menghapus segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan gender”. Sedangkan misi organisasinya adalah “membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender”. Sebelumnya, tidak ada visi dan misi tertulis dalam organisasi Fatayat.

Ide Restrukturisasi

Setelah saya terpilih sebagai Ketua Umum, pada awalnya saya mengikuti pola yang berlaku selama ini (setidaknya sejak saya masuk di Fatayat NU pola tersebut sudah ada) yaitu ada pengurus harian, ada pengurus bidang dan ada pengurus yang merupakan gabungan dari harian dan bidang yang disebut tim kerja proyek yang tugasnya melaksanakan proyek berkaitan dengan isu-isu tertentu yang didanai oleh funding. Dalam melaksanakan program kegiatan, tim kerja proyek lebih aktif karena dana dan fasilitasnya sudah tersedia dan mereka yang bekerja pun mendapat tunjangan rutin setiap bulan sesuai dengan masa berlangsungnya proyek. Sementara program dan kegiatan Fatayat NU yang di luar proyek, meskipun merupakan keputusan kongres, harus jungkir balik mencari dana sendiri dan teman-teman yang bekerja pun tidak mendapatkan tunjangan apa-apa, kecuali menghibur diri lillahi ta’ala, dengan harapan Allah SWT akan membalasnya dengan pahala kelak di akhirat. Amien. Situasi kerja tersebut berlangsung selama tiga periode saya di Fatayat NU sejak 1990-2005.

Kondisi tersebut di satu sisi sangat bagus karena Fatayat NU punya tim kerja yang baik dan bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan jawal yang disepakati donor. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kecemburuan sosial karena sama-sama bekerja untuk Fatayat NU tetapi diperlakukan berbeda. Dan yang paling mengerikan sesungguhnya adalah berubahnya orientasi lillahi ta’ala menjadi orientasi ’kepentingan’ untuk mendapatkan fasilitas di organisasi. Bahkan tidak jarang mereka yang bukan pelaksana proyek menjadi jarang datang dan program-program hasil Kongres pun tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Saya sadar betul bahwa kondisi tersebut tidak adil dan harus dilakukan upaya perbaikan sistemnya termasuk dalam hal keuangan, supaya transparan dan ada pertanggungjawaban publik karena Fatayat NU adalah organisasi publik. Selama ini mereka adalah tim dalam proyek; mereka yang mengerjakan, dan mereka pula yang mengevaluasi. Dalam hal manajemen keuangan pun demikian, dipegang sendiri-sendiri antara proyek dengan induk organisasinya. Betul-betul tidak ada kontrol di dalamnya. Dalam hal ini tidak ada yang salah memang karena sistemnya belum ada dan dari dulu berjalan seperti itu.

Atas dasar kondisi itu sebenarnya yang membuat saya menggebu-gebu untuk melakukan restrukturisasi. Saya yakin betul jika sistemnya bagus dan keuangannya diaudit oleh Public Accounting secara berkala, pasti semua program Kongres dapat dilaksanakan, karena kita akan mudah mencari dukungan dana, tidak hanya bergantung dari bantuan funding tapi perorangan pun mungkin akan mengalir sendiri. Dengan sistem dan pertanggungjawaban keuangan yang transparan, kepercayaan terhadap Fatayat NU akan terbangun dengan sendirinya.

Saya masih ingat benar ketika tahun pertama kepengurusan, saat itu saya sudah katakan pada teman-teman para pengurus, bahwa saya siap tidak “populer”. Saya punya mimpi untuk membangun sistem, supaya organisasi berjalan dengan aturan sehingga dapat membuat kebijakan-kebijakan yang strategis dan berdampak jangka panjang bagi kepentingan perempuan. Namun ketika itu saya masih mengikuti pola lama sambil melakukan konsolidasi organisasi pasca kongres.

Pada tahun kedua, saya mempunyai gagasan restrukturisasi. Tujuan restrukturisasi ini adalah: Pertama, membangun sistem sebagaimana mimpi saya diawal kepengurusan, agar tidak tumpang tindih baik dalam kebijakan maupun manajemen organisasi. Kedua, penguatan institusi agar organisasi mempunyai harga diri, memiliki daya tawar (bargaining power) tinggi di mata penguasa maupun penyandang dana. Ketiga, kemandirian dalam pendanaan organisasi, supaya tidak selalu menadahkan tangan. Sudah bukan jamannya lagi kita minta-minta sumbangan tanpa berpikir memberikan sesuatu kepada penyumbang. Orang juga mulai kritis, kalau saya nyumbang Fatayat NU saya akan dapat apa dari situ? Pertanyaan tersebut sangat manusiawi. Belum lagi bila situasi politik memanas, dan berurusan dengan kepentingan politik donatur, pening kita, yang ada bisa-bisa Fatayat NU digadaikan untuk kepentingan sekelompok orang-orang tertentu yang memanfaatkan organisasi untuk kepentingan dirinya. Pada akhirnya, Fatayat NU menjadi organisasi yang sangat rapuh, mudah sekali diintervensi oleh pihak luar.

Oleh karena itu, Fatayat NU ke depan harus memiliki sumber dana tetap yang bukan berasal dari bantuan tapi dari usaha profit. Meskipun agak sulit memang, karena berlawanan dengan tradisi lama yang tidak pernah berpikir profit untuk organisasi. Kita terbiasa dengan menadah bukan memberi. Tradisi tersebut tidak hanya berlaku di Fatayat NU, saya kira organisasi massa lain pun demikian. Tapi Fatayat NU pada periode ini sudah mencoba, kita punya usaha kecil-kecilan seperti warung telpon (Wartel). Hasilnya memang belum apa-apa kalau dibandingkan dengan kebutuhan operasional atau pengeluaran rutin tiap bulan. Menurut saya tidak apa-apa, yang penting keinginan ke arah itu sudah dimulai dan harus terus berproses. Bahwa dalam usaha nanti keuntungannya kecil atau bahkan mungkin rugi, itu resiko, jangan mundur. Dalam hal ini kita memang membutuhkan waktu lama untuk berproses menangani usaha secara profesional.

Alasan utama lahirnya gagasan restrukturisasi ini sebenarnya berangkat dari pengalaman pahit yang tidak kondusif yaitu; Pertama, belajar dari pengalaman masa lalu ketika hampir semua pengurus harian melaksanakan proyek, tugas utama merealisasikan keputusan kongres yang menjadi tanggungjawabnya tidak jalan. Padahal ketua-ketua itu, khususnya pada periode 2000-2005 dipilih juga oleh kongres, cara mengatasinya bagaimana? Evaluasi berkali-kali dilakukan tapi tidak ada perbaikan, bahkan kemudian saya sebagai ketua umum merasa capek karena ketua-ketua yang ada hampir seluruhnya menjadi pimpinan proyek atau pelaksana proyek. Mereka tidak bisa juga kita dipersalahkan karena disepakati dalam rapat pleno, dan kebijakan periode sebelumnya (dari periode ke periode) bahwa pimpro itu harus pengurus harian. Kedua, pengalaman kepemimpinan saya selama dua tahun pertama, di saat semua ketua menjadi pimpinan proyek (pimpro), maka kekuatan pengambil kebijakan menjadi bias, orientasinya pada kepentingan proyek, dan bukan pada program amanah kongres. Dari sinilah terpikir harus membangun atau merevisi sistem yang ada.

Namun gagasan restrukturisasi ini sayangnya diawali dengan respon negatif dari sebagian besar pengurus. Dari penolakan merekalah saya menjadi tahu apa yang ada di balik isi kepala mereka. Kekuatiran mereka muncul karena mereka tidak mempelajari dahulu apa yang diinginkan dengan gagasan ini. Sebelum memahami duduk masalahnya, mereka sudah menyimpan kecurigaan dan prasangka negatif. Terutama kecurigaan bahwa saya dianggap akan mem-PKB-kan Fatayat. Situasi ini menjadi tidak sehat. Konflik antar pengurus pun berlangsung.

Pada situasi inilah, saya merasa sendirian dan tidak punya teman, dalam arti orang yang betul-betul mengerti dan memahami ide restrukturisasi ini. Salah satu cara yang saya lakukan adalah meminta masukan dari orang-orang yang mengerti kultur NU yang saya anggap bisa membantu persoalan yang saya hadapi, di antaranya dengan Bapak MM Billah, Bapak Nasihin Hasan, Bapak Masykur, sahabat Ermalena, sahabat Lilis Nurul Husna dan lain-lain. Mereka banyak sekali memberikan masukan-masukan yang membuat saya menjadi bersemangat lagi membawa isu restrukturisasi di Fatayat NU. Alhamdulillah, akhirnya lokakarya restrukturisasi dapat dilaksanakan, meskipun tidak diikuti oleh semua pengurus, karena mereka dari pengurus yang pro-status quo tidak mau hadir. Saya biarkan mereka tidak hadir, bahkan saya tahu persis di antara mereka ada yang memprovokasi teman-teman untuk tidak hadir dan selalu mencerca hasil kerja teman-teman yang menjadi tim perumus lokakarya itu. Sengaja situasi tersebut saya biarkan, toh akhirnya sejarah yang akan mencatat.

Dalam lokakarya restrukturisasi tersebut, Pak Billah bersedia menjadi fasilitator dan beliau mendukung sepenuhnya, bahkan beliau katakan ’salut’ kepada Fatayat NU kalau bisa memulai pembaharuan di tubuh NU. Ide ini memang butuh waktu, karena ada konsekwensi-konsekwensi yang menggeser posisi dan mengurangi otoritas maupun kewenangan. Begitu juga dalam pembidangan yang merupakan warisan dari periode sebelumnya yang sekarang tidak efektif, tetapi dipaksakan ada. Bidang-bidang dalam kepengurusan yang semula sembilan bidang, dikerucutkan menjadi lima bidang. Hingga kini ide restrukturiasi ini baru pada tingkat wacana, dan belum dilaksanakan, meskipun Konprensi Besar Fatayat NU pada pertengahan periode lalu telah menyetujui hasil lokakarya restrukturisasi tersebut diujicoba pada Pucuk Pimpinan Fatayat NU.

Wacana Gender dan Isu-isu “Sensitif”

Karena Fatayat mengembangkan penguatan “Hak-hak Reproduksi Perempuan”, maka tidak bisa melepaskan diri dari isu-isu yang dipandang sensitif, yakni isu aborsi, khitan perempuan (mutilasi), dan lain-lain. Dari hasil diskusi tersebut, kita menemukan bahwa khitan bagi perempuan itu sesungguhnya tidak wajib, tetapi mengapa hal tersebut diwajibkan? Terdapat penelitian bahwa khitan perempuan dari aspek medis sebenarnya tidak memiliki manfaat apa-apa. Berbeda dengan manfaat khitan bagi laki-laki. Khitan bagi perempuan justru dihilangkan pusat rangsangan kenikmatan seksualnya, karena sebagian klitorisnya dipotong. Tujuan diangkatnya wacana ini adalah kita ingin menyampaikan temuan kepada masyarakat bahwa dari sisi hukum Islam, kewajiban khitan bagi perempuan landasannya tidak kuat. Disamping yang utama adalah tujuan kemaslahatan bagi perempuan.

Demikian pula dengan isu aborsi. Kita mengangkat wacana ini tidak terlepas dari kenyataan yang dialami perempuan di Indonesia. Pada tahun 2002-2004, ditemukan bahwa setiap tahun, rata-rata dua juta perempuan melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman. Dilihat dari pendekatan fiqh, hal ini cukup kontroversial. Para ulama klasik menyajikan dalil-dalil dengan sejumlah argumentasi dimana kita mempunyai banyak pilihan-pilihan, khususnya bagi mereka yang tidak siap hamil, seperti karena perkosaan, kegagalan kontrasepsi. Hal ini bisa dilakukan aborsi sebelum tiga bulan kehamilan.

Ketika saya mengangkat wacana diperbolehkannya perempuan melakukan aborsi sebelum usia kehamilan empat puluh hari atas kehamilan yang tidak dikehendaki, banyak kalangan berkomentar minor, termasuk di kalangan NU. Kalau mereka mau membaca kitab-kitab fikih klasik atau kitab kuning, pandangan yang saya lontarkan tersebut sebenarnya bukan hal baru, para ulama fikih dari madzhab empat yaitu Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki sudah mewacanakannya sejak 15 abad lalu. Saya hanya membahasakan kembali dalam bahasa Indonesia yang ditulis melalui buku saya berjudul: Fiqih Aborsi: Review Kitab Klasik dan Kontemporer. (2000)

Sasaran tembak dari dikembangkannya wacana aborsi ini adalah mencoba memberikan solusi kepada kaum perempuan bahwa daripada ia sembunyi-sembunyi melakukan aborsi ke tempat-tempat yang tidak aman, mengapa ia tidak mendatangi tempat yang aman saja seperti dokter yang sudah memperoleh badan hukum yang legal. Meskipun praktiknya sulit karena dokter pun tidak ada yang mau, mereka khawatir terjerat hukum pidana, karena dalam KUHP memang tergolong pidana. Ini dilematis memang, di satu sisi ingin menolong orang lain, tetapi dia sendiri yang akan terjerat hukum.

Hal serupa dengan isu poligami. Kita melihatnya dari sisi perempuan dimana ia menjadi pihak yang dirugikan. Padahal mengangkat isu ini bukan tanpa resiko, karena banyak kyai-kyai di lingkungan NU yang mempraktikkan perkawinan poligami.
Meluruskan Kotroversi

Sebagian orang mengatakan bahwa Fatayat NU di bawah kepemimpinan saya gaungnya besar di luar, tetapi lemah penguatannya dalam internal organisasi. Pengurus sesungguhnya sudah berbagi tugas untuk penguatan internal organisasi dengan adanya pembagian kapling dari ketua-ketua. Para Ketua membawahi wilayah-wilayah Fatayat NU. Ketua umum sebenarnya tidak mempunyai kapling tersebut, tetapi jika saya dibutuhkan hadir, maka pasti saya akan menghadirinya. Selain itu, pembinaan ke wilayah dan cabang berharap dari petugas yang melakukan kegiatan proyek-proyek Fatayat NU. Karena itu, kebijakan kita, siapapun yang ke daerah diharapkan sekaligus melakukan konsolidasi organisasi, namun hal tersebut jarang sekali terjadi.

Jika saya ke daerah/wilayah, selama saya menjadi ketua umum mungkin perbandingannya separo diundang oleh wilayah, separonya melayani undangan dari organisasi lain, seperti menjadi fasilitator, menjadi pembicara dalam seminar atau ceramah-ceramah. Pada kesempatan tersebut kemudian saya manfaatkan juga untuk bersilaturrrahmi dengan teman-teman pengurus Fatayat NU di daerah atau menghadiri acara-acara mereka. Jika mengandalkan fasilitas dari kas organisasi terbatas sekali, karena biasanya yang punya dana ke daerah adalah pelaksana proyek, tapi kita siasati sambil melakukan konsolidasi.

Mengapa gaung Fatayat NU lebih populer di luar daripada dalam internal Fatayat sendiri? Saya kira tidak sepenuhnya benar, karena banyak juga program-program yang kita lakukan di daerah, baik di PW, PC bahkan ke PAC seperti pada program pendidikan pemilih waktu Pemilihan Umum Legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden, tahun 2004. Namun kita akui memang belum merata di seluruh propinsi yang jumlahnya kini ada 30 PW. Berkali-kali proyek selalu di pulau Jawa, meskipun PP berkali-kali mengusulkan di pulau-pulau lain tapi funding selalu menolak. Dilematis memang, jika kita tidak mengambil tawaran untuk proyek di Jawa kita tidak dapat kesempatan, tetapi jika mengambil proyek itu konsekwensinya lagi-lagi jawa yang diuntungkan. Tapi itulah kenyataan yang ada, kita memang belum bisa mandiri dalam hal pendanaan organisasi yang bisa membiayai konsolidasi di seluruh propinsi.

Hal lain, saya sebagai ketua umum memang termasuk jarang menghadiri acara-acara konperensi wilayah. Selagi masih ada ketua-ketua atau pengurus harian yang bisa hadir, saya biasanya mendahulukan mereka untuk berangkat. Pertimbangan saya, kesempatan hadir dan memberikan sambutan atau pengarahan kepada PW/PC adalah proses dari kaderisasi. Semakin sering mereka diberi kesempatan ke daerah, semakin sering menjadi pembicara, memberikan pengarahan dan sebagainya, maka mereka akan semakin trampil. Saya sadar betul untuk sampai pada tingkat trampil prosesnya panjang, tidak cukup dengan latihan pengkaderan di kelas atau membaca buku, tapi harus memperbanyak praktik. Semakin banyak jam terbangnya (praktik) semakin trampil.

Selain itu, saya sebagai ketua umum punya tugas ekternal yaitu membangun jaringan keluar, melakukan terobosan-terobosan baru dan inovasi-inovasi baru. Bahwa kemudian faktanya teman-teman tidak puas bahkan tidak setuju dengan yang saya lakukan, ya harus dievaluasi. Dan evaluasi itu ada forumnya, bisa melalui rapat harian, rapat pleno atau meminta rapat khusus untuk diadakan evaluasi. Sejauh ini saya selalu terbuka, siapapun bisa mengusulkan rapat, dan dalam setiap rapat harian atau rapat lainnya saya selalu mengawali dengan menawarkan agenda, teman-teman menambahkan agenda kalau memang diperlukan untuk disikapi oleh organisasi.

Ironisnya, memang tidak semua orang bisa menyampaikan usulan atau ide-ide itu di forum. Ada juga yang seringkali waktu rapat tidak pernah bicara, tetapi mengemukakan ide-idenya di luar rapat dan memaksakan harus dilaksanakan. Atau ketidaksetujuannya dengan keputusan rapat, dibahas lagi dengan teman-teman yang bukan peserta rapat. Itu namanya ngerumpi, bukan keputusan yang mengikat yang harus dilaksanakan. Saya paling tidak suka dengan cara-cara tersebut dan saya paling sering menegur teman-teman untuk membiasakan bicara dan mengeluarkan uneg-unegnya di rapat, jangan dibawa keluar. Ini kebiasaan buruk memang, yang akan terus berulang karena menyangkut karakter orang.

Saya juga sering frustrasi menghadapi situasi tersebut. Ketika terjadi seperti itu, hiburannya mencari selingan rapat dengan jaringan saya di luar Fatayat NU. Ide-ide khususnya pembaharuan untuk kepentingan organisasi maupun isu-isu perempuan yang ditolak oleh teman-teman, saya juga suka gregetan. Ide-ide itu kemudian saya bawa keluar, saya donasikan ke lembaga lain yang membutuhkan. Misalnya, saat saya mengikuti rapat dengan lembaga-lembaga jaringan Fatayat NU, maka saya lontarkan ide tersebut, dimana sebelumnya “tidak laku” dalam internal Fatayat NU. Contohnya, masalah partisipasi perempuan dalam politik yang merespon 30 % quota perempuan di parlemen, saya katakan kepada para pengurus bahwa meskipun pengurus Fatayat tidak boleh merangkap jabatan dengan bergabung dalam partai politik, tetapi kita memiliki kemampuan tawar menawar (bargaining) dengan partai-partai politik yang ada untuk menitipkan kader-kader Fatayat NU supaya menjadi calon jadi di legislatif. Ide tersebut ditolak oleh sebagian para pengurus, bahkan diantara mereka ada yang sangat emosi hingga pingsan, betul-betul pingsan saking emosinya. Bagi saya, situasi tersebut sangat melelahkan. Dari sanalah saya bergabung dengan wadah yang bisa mendengar gagasan saya, seperti aktif mengikuti rapat jaringan CETRO, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan politik. Selain itu, biasanya saya meluapkannya dalam artikel yang kemudian dimuat di beberapa media masa khususnya di SWARA Kompas.

Belakangan saya baru merasakan bahwa situasi di Fatayat NU yang seperti itu secara tidak sadar menempa saya menjadi dewasa dan bisa menerima kemajemukan dalam berbagai situasi. Alhamdulillah, saya bersyukur, ternyata ada hikmahnya. Inilah barangkali hikmah yang paling berharga buat hidup saya, karena ketika pada akhir-akhir kepengurusan saya, saya memperoleh penghargaan dari CETRO (2004) untuk Calon Legislative Perempuan yang Berprestasi, Saparinah Sadli Award (2004) untuk tesis saya tentang Fiqh Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak Reproduksi, dan ANTV Award untuk kategori sosial (2005). Semua itu, baik langsung atau tidak saya kira jelas merupakan dampak positif dari posisi saya sebagai ketua umum Fatayat NU.

Ketika saya memperoleh beberapa penghargaan ini, suara “miring” pun muncul bahwa penghargaan tersebut adalah karena saya menyuarakan suara-suara kelompok perempuan tertentu di luar NU. Saya sadar betul bahwa saya mengusung ide-ide kesetaraan dan keadilan gender bukan titipan siapa-siapa, tetapi karena memahami dan merasakan apa yang terjadi pada perempuan, pada kita.

Faktanya, memang masih banyak tokoh-tokoh NU tidak memiliki perspektif gender, sehingga ketika kita bicara isu-isu perempuan dengan perspektif gender dianggap mengadopsi ide orang luar, sama sekali tidak. Contohnya, pada tahun 1998, ketika kita mencoba memasukkan gender mainstreaming di Fatayat, saya ingat benar ketika sejumlah kyai memanggil saya dalam suatu acara lokakarya dan mereka bertanya: “Apa yang dicari Fatayat? Selama ini ruang gerak perempuan ‘kan sudah leluasa?” Waktu itu saya jawab, “Apakah hak-hak perempuan sudah diperhatikan? Jika kita bicara nas atau teks-teks al-Quran, maka kita akan melihat bahwa teks-teks tersebut mengangkat martabat perempuan, tetapi bagaimana dengan implementasinya? Hal inilah yang ingin kita angkat untuk menyeimbangkan antara teks dengan realitas, supaya tidak timpang. Para kyai tersebut kemudian berkomentar, “ Jika demikian, Anda harus melakukannya dengan counter wacana lagi, karena yang Anda hadapi adalah para kyai.”

Sebagai organisasi, NU sendiri sebenarnya tidak pernah memberikan ruang kepada perempuan untuk mengemukakan masalah-masalahnya. Misalnya, pada pra Muktamar NU di Kediri, kita melakukan penelitian dengan mengenai pandangan para kyai tentang nusyuz. Temuan yang mengemuka dari penelitian tersebut bahwa pandangan para kyai soal nusyuz masih sangat bias laki-laki. Hasil penelitian ini ingin kita presentasikan di forum muktamar, tetapi ditolak. Akhirnya, kita presentasi di luar arena muktamar, waktu itu di ruang media.

Program Kerja.

Fokus program pada kepemimpinan saya adalah “Penguatan Hak-Hak Perempuan” yang mencakup pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Porsi terbanyak adalah pada upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan dan penguatan hak-hak kesehatan reproduksi. Fatayat NU mempunyai Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2) sebanyak 26 unit di 26 kabupaten dan Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER). Selain itu, bekerja sama dengan BKKBN, Fatayat NU mempunyai program kesehatan bagi remaja puteri.

Dalam bidang politik, program yang dikembangkan Fatayat adalah pendidikan pemilih serta pengembangan partisipasi politik warga melalui Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR). Dalam bidang ekonomi, bekerja sama dengan AUSAID, Fatayat NU melakukan pembinaan pedagang kecil dan pengrajin. Selain itu, pada dua tahun terakhir ini Fatayat NU juga konsen pada pencegahan perdagangan orang (trafficking), khususnya terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) bekerja sama dengan International Labor Organization (ILO) dan International Organization for Migration (IOM).

Program lain adalah membangun dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga, seperti LSM-LSM perempuan, organisasi masyarakat dan lembaga penyandang dana (funding). Jejaring ini dilakukan agar kita bisa melaksanakan kerja bersama, seperti melakukan advokasi dan terlibat dalam merancang berbagai Undang-undang: Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Revisi Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pemilu dan Partai politik mengenai perjuangan memperoleh kuota 30% perempuan di parlemen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas), Undang-Undang Pornografi, dan lain-lain.

Untuk revisi Undang-Undang Kesehatan, misalnya, Fatayat memperjuangkan penyediaan pelayanan dasar persalinan. Selama ini, standar pelayanan persalinan yang komperhensif hanya ada di tingkat Kabupaten (RSUD), sementara masyarakat bawah sulit menjangkaunya. Kita mengusahakan agar masyarakat memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau.

Fatayat NU pun mengembangkan advokasi buruh migran dengan melakukan penyadaran pada masyarakat di pedesaan dengan memberikan informasi bahwa ketika mereka mau bekerja, ada persyaratan-persyaratan yang harus mereka ketahui. Ini didasarkan fakta bahwa mereka yang pergi bekerja ke luar negeri tidak tahu keterampilan apa yang harus dimiliki dan apa yang harus mereka kerjakan di sana. Yang kita sadarkan adalah bahwa jika mereka mau bekerja, maka bekerjalah dengan prosedur yang legal dan sebelum berangkat mereka harus mengukur diri, supaya tidak terjebak pada penipuan dan perdagangan orang. Target sasarannya adalah kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu, diantaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fatayat NU dalam melakukan advokasi bergerak pada dua tingkatan. Pertama, penyadaran pada masyarakat akar rumput (grass roots). Kedua, pada tingkat atas yaitu para pembuat kebijakan. Selama ini banyak Undang-undang yang tidak berperspektif gender, sehingga perempuan menjadi pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, sekalipun kita sudah secara sungguh-sungguh melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat akar rumput, tetapi jika kebijakannya tidak berpihak kepada kelompok perempuan, hasil yang dicapai sangat lama dan tidak terlihat. Dengan melakukan penguatan pada dua tingkatan tersebut, diharapkan semua kebijakan publik menggunakan perspektif gender, berbasis pada nilai-nilai-keadilan dan berorientasi pada kepentingan publik bukan kepentingan penguasa. Pada saat yang bersamaan kita juga harus memberikan penyadaran kepada masyarakat supaya mempunyai kesadaran terhadap nilai-nilai tersebut.

Pada program pendidikan, Fatayat mendorong para pengurus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, terutama untuk program master. Mereka diberikan beasiswa dengan harapan mereka menjadi tenaga ahli yang siap membangun Fatayat NU.

Pengalaman Pasang Surut

Pengalaman kemajuan yang saya rasakan dalam kepemimpinan saya adalah program utama organisasi, yakni “Penguatan Hak-hak Perempuan”. Selain itu, pengembangan jaringan dengan berbagai lembaga dimana Fatayat NU bisa masuk dalam hampir semua usulan perubahan Undang-undang yang berpihak kepada perempuan. Berbagai advokasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan pun, Fatayat NU turut berpartisipasi di dalamnya.

Pengalaman surutnya adalah ketika ide-ide saya banyak ditolak di kalangan pengurus harian. Saya sering merasa “kesepian” dalam organisasi sendiri, karena penolakan yang saya prihatinkan kemudian sering berujung pada konflik diantara sesama pengurus. Pada akhirnya kerja kita di organisasi seringkali mengurusi para pengurus, hampir separo dari periode ini mungkin setiap kali rapat yang muncul adalah klarifikasi dan meluruskan informasi. Barangkali ini adalah kelemahan saya karena tidak bisa mengelola konflik menjadi kekuatan, sehingga kadang-kadang melelahkan sekali.

Biografi Diri.

Saya lahir di Indramayu, 15 Oktober 1960. Latar belakang keluarga saya adalah NU dimana ayah saya pernah menjadi Pandu Anshor dan terakhir sebagai Syuriah NU di Indramayu. Dalam setiap muktamar ayah saya selalu hadir meskipun sebatas penggembira mungkin, karena cintanya sama NU. Pendidikan agama diperoleh di Madrasah Ibtidaiyyah Tulungagung, Kertasemaya, Indramayu, dilanjutkan ke madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) sambil nyantri di Pesantren Darul Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, (1975). Kemudian meneruskan ke Madrasah Aliyah di Pesantren Al-Muayyad, Surakarta (1978) dan pada saat yang bersamaan aktif di Ikatan Pelajar Putri NU, cabang Solo. Setelah itu melanjutkan pendidikan sarjana pada Fakultas Syariah di Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta dan tamat tahun 1986. Pada saat yang bersamaan, saya aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Cabang Jakarta, dan sempat masuk menjadi Pengurus Besar PMII (PBPMII), waktu itu ketua umumnya Surya Dharma Ali. Pendidikan Pascasarjana (S2) di Universitas Indonesia pada Program Studi Kajian Wanita dengan tesis berjudul: “Fiqih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim”. Dengan tesis ini saya memperoleh penghargaan “Saparinah Sadli Award” (2004).

Saya pernah menjadi guru di Madrasah Aliyah al-Mukhlishin, Bogor. Pada saat bersamaan, saya ikut kursus Perpustakaan dan Dokumentasi di Akademi Administrasi Notokusumo Yogyakarta dikirim oleh Lakspesdam NU. Dari kursus tersebut saya direkrut oleh lembaga tersebut sebagai koordinator Perpustakaan dan Dokumentasi NU (1988-1996). Pada tahun 1994 hingga sekarang, dosen di Institut Ilmu al-Quran.

Pengalaman kerja selanjutnya lebih banyak kerja individual, menulis di berbagai media massa, menjadi konsultan, memberikan materi seminar di berbagai forum. Sekarang, selain sebagai Ketua Umum Fatayat NU (periode 2000-2005), saya pun menjadi Sekretaris Eksekutif PUAN Amal Hayati dan staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Latar belakang kerja saya yang lama di LSM yaitu Lakspesdam NU, ini mempengaruhi pemikiran, pola kerja dan gaya kepemimpinan saya di Fatayat NU. ( Ditulis oleh : Neng Dara Affiah)

No comments:

Post a Comment